Powered By Blogger

Kamis, 05 Mei 2011

Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

 
1.1  Latar Belakang
 Reformasi di bidang pendidikan dewasa ini merupakan sesuatu yang mesti dilakukan. Dua faktor yang melatarbelakanginya adalah faktor eksternal yaitu adanya tuntutan persaingan global di era kesejagatan dan faktor internal, yaitu perlunya penyesuaian sistem pendidikan dengan kebijakan otonomi daerah yang menuntut adanya desentralisasi bidang pendidikan.
Dengan telah dimulainya era otonomi daerah di Indonesia, maka sistem pendidikan yang sentralistis, secara normatif, perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan mesti disesuaikan dengan kebutuhan desentralisasi bidang pendidikan yang merupakan konsekuensi logis dari diberlakukannya otonomi daerah.
Otonomi daerah pada dasarnya merupakan perwujudan dari asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah daerah sehingga pada akhirnya menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah. Dengan ditetapkannya kebijakan otonomi daerah mulai dari awal 200, daerah-daerah otonomi yang berbasis di kabupaten dan kota pun lahir di Indonesia. Sebagai daerah otonomi, daerah kabupaten/kota memilki hak, wewenang, dan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam bidang-bidang tertentu sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat.
Dengan otonomi daerah ini diharapkan masyarakat mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan. Salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan adalah bidang pendidikan. Kebijakan pemerintah dalam desentralisasi pendidikan khususnya pada pendidikan formal yaitu penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) merupakan sistem pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah secara mandiri. Indikasi MBS tampak pada wawasan segenap personal sekolah yang berorientasi pada mutu, pemberdayaan potensi sekolah yang dikoordinasi oleh pimpinan sekolah secara transformasional, peran aktif semua pihak terkait dalam pelaksanaan, pengendalian mutu, dan keberhasilan pendidikan di sekolah bersama sekolah, masyarakat dan pemerintah secara proporsional.
Kebijakan MBS memberi peluang sekolah untuk menjadi makin unggul. Sekolah ber-MBS artinya dalam menyelenggarakan manajemen pengelolaannya berorientasi pada kepentingan sekolah. Secara mandiri sekolah menentukan visi, misi, tujuan dan segala aktivitas pelaksanaannya. Kurikulum sekolah MBS disusun sesuai tujuan sekolah, sebagai hasil kesepakatan kehendak sekolah,  orang tua, dan masyarakat terutama  pengguna lulusan sekolah.
Segala aktivitas pendidikan di sekolah diorientasikan untuk peningkatan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. Kontribusi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah tidak hanya tanggung jawab finansial terhadap penyediaan sarana prasarana pendidikan di sekolah, tetapi juga tanggung jawab terhadap pengendalian mutu sekolah. Fungsi pengawasan pun dilakukan oleh orang tua dan masyarakat terhadap sekolah secara utuh dan menyeluruh.
Bertambahnya sekolah ber-MBS di seluruh Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas akan semakin memunculkan sekolah unggulan. Sebuah obsesi jika semua sekolah ber-MBS maka  kompetisi  unggul dari yang unggul menjadi wacana. Daya saing secara global dalam hal ini akan memberi aroma positif terhadap pendidikan di Indonesia.
Kebijakan MBS memberi otonomi terhadap sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah secara mandiri. Tetapi otonomi tersebut tidak serta merta menjadikan sekolah melepaskan diri dari kontrol pemerintah. Aturan kelembagaan yang bersifat fungsional operasional sebagai bagian dari lembaga negara di bidang pendidikan, tentu  tetap berlaku.
Kondisi negara Indonesia yang pluralistik dengan berbagai suku bangsa dan daerah dari kepulauan besar kecil  serta wilayah terpisah di seluruh nusantara menjadi permasalahan tersendiri dalam mengimplementasikan kebijakan MBS. Untuk kepentingan pemetaan dan  penentuan jenis pelayanan pemerintah dalam bidang pendidikan terhadap kebutuhan seluruh rakyat, ditetapkanlah Standar Nasional Pendidikan (SNP).

1.2  Rumusan Masalah
Untuk membatasi permasalahan dalam pembahasan, maka dalam makalah ini akan membahas tentang ”Administrasi Pendidikan dalam Praktik  MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)” yang meliputi:
1.    Apa pengertian kebijakan?
2.    Bagaimana konsep MBS dalam pendidikan?
3.    Apa yang menjadi landasan kebijakan MBS?
4.    Bagaimana dampak dari penerapan MBS?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1.    Agar kita lebih mengenal dan memahami pengertian kebijakan.
2.    Agar kita mengetahui konsep MBS dalam pendidikan.
3.    Agar kita lebih mengenal dan memahami landasan kebijakan penerapan MBS.
4.    Agar kita mengetahui dampak dari penerapan MBS.


 
2.1  Pengertian Kebijakan
Secara harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat, atau umum.
Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk ke dalam bahasa Inggris lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). Dalam pengertian umum kata ini seterusnya diartikan sebagai,”…a course of action intended to accomplish some end” (Jones, 1977:4) atau sebagai “…whatever government chooses to do or not to do” (Dye, 1975:1). Uniknya dalam bahasa Indonesia, kata “kebijaksanaan” atau “kebijakan” yang diterjemahkan dari kata policy tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Kata tersebut mempunyai akar kata bijaksana atau bijak yang dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam bahasa Inggris. Dengan pengertian ini, sifat bijaksana dibedakan orang dari sekedar pintar (clever) atau cerdas (smart). Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang ilmu, sementara cerdas biasanya diartikan sebagai sifat seseorang yang dapat berpikir cepat atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan yang dihadapi secara cepat (Buchari Zainun dan Said Zainal Abidin, 1988:7-10).
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Definisi ini dibuatnya dengan menghubungkan pada beberapa definisi lain dari David Easton, Lasswell dan Kaplan, dan Carl Friedrich. Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan mengalokasi nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan”. Ini mengandung konotasi tentang kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan masyarakat. Tidak ada suatu organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup seluruh masyarakat kecuali pemerintah. Sementara Lasswell dan Kaplan yang melihat kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik (a projected program of goals, values, and practices). Carl Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal), sasaran (objective) atau kehendak (purpose).
Bertolak dari definisi-definisi di atas, Jones merumuskan kebijakan sebagai “…behavioral consistency and repeatitiveness associated with efforts in and through government to resolve public problems” (perilaku yang tetap dan berulang dalam hubungan dengan usaha yang ada di dalam dan melalui pemerintah untuk memecahkan masalah umum). Membaca devinisi-definisi yang telah disebutkan, dapatlah kita simpulkan bahwa kebijakan adalah suatu keputusan yang diambil untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan, nilai, dan praktik yang di dalamnya terdapat unsur legalitas (kepemerintahan). Definisi ini memberi makna bahwa kebijakan itu bersifat dinamis. (http://massofa.wordpress.com/2008/11/13/kajian-ilmu-kebijakan-dan-pengertian-kebijakan/9 Agustus 2010)

2.2  Konsep Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
2.2.1  Sejarah MBS
Konsep manajemen berbasis sekolah pertama sekali muncul di Amerika Serikat. Hal itu dilatarbelakangi oleh masyarakat yang pada saat itu mempertanyakan tentang relevansi dan korelasi pendidikan yang diselenggarakan di sekolah dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kinerja sekolah pada saat itu dianggap tidak sesuai dengan tuntutan peserta didik untuk terjun ke dunia usaha dan sekolah dianggap tidak mampu meberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi kompetitif secara global. Fenomena tersebut diantisipasi dengan melakukan upaya perubahan terhadap manajemen sekolah. Dengan begitu muncullah penataan sekolah melalui konsep MBS yang diartikan sebagai wujud dari reformasi pendidikan yang memodifikasi struktural pemerintahan ke sekolah dengan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional (Sagala, 2004).
Manajemen MBS merupakan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipasi yang melibatkan warga sekolah seperti guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan, orangtua peserta didik, dan masyarakat yang berhubungan program sekolah sehingga rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat rasa tanggung jawab dan dedikasi warga sekolah. Dengan menggunakan MBS, sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakat.

2.2.2   Tujuan Penerapan Model MBS
Desain pengelolaan sekolah menggunakan MBS bertujuan memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi sekolah dalam memperbaiki kinerja sekolah mencakup kepemimpinan sekolah, profesionalisme guru, layanan belajar peserta didik yang bermutu, manajemen sekolah yang bermutu, prtisipasi orangtua peserta didik dan masyarakat. 
Menurut Satory (2001:5) penerapan MBS bertujuan:
1.    Meningkatkan mutu pendidikan dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdaya sumber daya dan potensi yang tersdia.
2.    Meningkatkan kepedulian warga sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
3.    Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah.
4.    Meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.

2.2.3   Prinsip MBS
Penggunaan model MBS menunjukkan bahwa manajemen sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan pengayaan kurikulum dalam berbagai bentuk. Misalnya menambah mata pelajaran yang ingin ditingkatkan kadar dan mutu pembejarannya, memperkaya pokok atau subpokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu yang dianggap penting dan relevan dengan konteks kebutuhan anak di sekolah, dan memberi perhatian khusus pada pengembangan bakat dan minat peserta didik.
Sesuai dengan prinsip tersebut, sekolah memiliki kewenangan menetapkan sumber pelajaran, fasilitas dan alat pembelajaran yang diperlukan seperti buku sumber atauu bahan texs book mata pelajaran yang akan dipakai, alat peraga dan media pendidikan, bahan-bahan yang digunakan di laboratorium dan bengkel kerja, dan melakukan pertumbuhan jabatan guru mapun tenaga kependidikan guna meningkatkan kinerja sekolah.

2.2.4   Karakteristik MBS
Manajemen berbasis sekolah menurut Sagala (2010: 161) memiliki karakteristik sama dengan sekolah yang efektif, yaitu:
1.    Memiliki output, yaitu prestasi pembelajaran dan manajemen sekolah yang efektif.
2.    Efektifitas proses belajar mengajar yang tinggi
3.    Peran kepala sekolah yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
4.    Lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga manajemen sekolah lebih efektif.
5.    Melakukan analisa kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja,, hubungan kerja, dan imbalan jasa tenaga kependidikan dan guru yang dapat memenuhi kebutuhan nafkah hidupnya sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
6.    Pertanggungjawaban sekolah terhdap keberhasilan program yang telah dilaksanakan.
7.    Pengelolaan dan penggunaan anggaran yang sepantasnya dilakukan oleh sekolah sesuai kebutuhan riil untuk meningkatkan mutu layanan belajar. 

2.2.5   Pengertian MBS
Setelah mengetahui sejarah MBS, tujuan, prinsip, dan karakteristiknya, tersebutlah definisi MBS. Istilah manajemen sekolah sering disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. Merencanakan (planning),
2. Mengorganisasikan (organizing),
3. Mengarahkan (directing),
4. Mengkoordinasikan (coordinating),
5. Mengawasi (controlling), dan
6. Mengevaluasi (evaluation).
Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Usaha mewujudkan pendidikan nasional salah satunya ditempuh melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau (School Based Management). Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid. Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas.
Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen Berbasis Sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.

2.2.6   Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi (http//:kebijakan-mbs/manajemen-berbasis-sekolah/mbs-kumpulan-makalah-bantuan-bahan-makalah-pendidikan.htm).
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1.    Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran
2.    Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3.    Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4.    Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5.    Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6.    Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

2.3    Landasan Kebijakan MBS
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1; “Manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004). MBS atau school based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, konsep MBS memiliki instrumen kunci yang dikenal dengan nama Komite Sekolah. Tidak hanya itu, menurut Dr. JC Tukiman Taruna, seorang pakar pendidikan, implementasi MBS secara ideal mensyaratkan beberapa hal yaitu (1) peningkatan kualitas manajemen sekolah yang terlihat melalui transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat (akuntabilitas), (2) peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan), dan (3) peningkatan peran serta masyarakat melalui intensitas kepedulian masyarakat terhadap sekolah (Kusmanto, 2004).
Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS dilaksanakan semata karena berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat 1:Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1:Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Keberadaan Komite Sekolah sebagai instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS juga tertuang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 2: “Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang non-akademik dilakukan oleh komite sekolah atau madrasah yang dihadiri oleh kepala satuan pendidikan”.
Sementara itu lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan memuat secara lebih terperinci tentang (a) perencanaan program, (b) pelaksanaan rencana kerja, (c) pengawasan dan evaluasi, (d) kepemimpinan sekolah atau madrasah, (e) sistem informasi manajemen, dan (f) penilaian khusus.
Depdiknas memberikan 10 alasan dibalik pemberlakuan kebijakan MBS, sebagaimana berikut (Irawan, dkk, 2004):
1.        Bila sekolah memiliki otonomi yang lebih besar maka sekolah akan lebih leluasa dalam mengekspresikan keaktifan atau kreatifitasnya dalam meningkatkan mutu sekolah;
2.        Bila sekolah memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam mengelola sumber dayanya maka sekolah akan lebih lincah dalam memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah;
3.        Bila sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada maka sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam memajukan sekolah;
4.        Bila sekolah lebih mengetahui input pendidikan lembaganya maka sekolah dapat mendayagunakannya dalam proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik;
5.        Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolah;
6.        Bila masyarakat sekitar sekolah mengontrol penggunaan sumber daya pendidikan maka penggunaannya akan menjadi lebih efektif dan efisien;
7.        Bila seluruh warga sekolah dan masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah maka akan tercipta transparansi dan demokrasi yang sehat;
8.        Bila sekolah bertanggung jawab secara langsung terhadap orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah, maka sekolah akan berupaya secara optimal dalam pelaksanaan pencapaian mutu pendidikan yang telah direncanakan;
9.        Dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah, maka sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah lainnya dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya yang lebih inovatif;
10.    Sekolah dapat melakukan respon yang lebih cepat terhadap aspirasi masyarakat yang berubah dengan cepat.
Dari kesepuluh alasan yang dikemukakan oleh Depdiknas tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama pemberlakuan kebijakan MBS adalah peningkatan mutu pendidikan melalui model pengelolaan sekolah yang lebih demokratis. Menurut Slamet PH (Irawan, dkk, 2004) secara empiris, memang MBS perlu diimplementasikan sebab model pengelolaan sekolah secara sentralistis yang telah cukup lama diterapkan terbukti kurang mengakomodasi kebutuhan sekolah, menumpulkan daya kreatifitas sekolah, dan mengikis habis sense of belonging warga sekolah terhadap sekolahnya.

2.4    Dampak Penerapan MBS
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
MBS juga dipandang dapat meningkatkan prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta merencanakannya.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS adalah (Gunawan, 2010) :
a.  Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
b.  Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c.  Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
d.  Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e.  Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f.  Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

2.4.1   Pengaruh MBS Terhadap Peran Pemerintah Pusat, Daerah, dan Dewan Sekolah
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan hanya sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya.
Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
2.4.1.1 Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
2.4.1.2 Syarat Penerapan MBS
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
a.    MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
b.    MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c.    Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
d.   Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
e.    Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
f.     Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

2.4.2 Hambatan dalam Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah:
1.    Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2.    Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan sering kali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3.    Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit pikiran kelompok. Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.    Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, dan komunikasi.
5.    Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6.    Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

Berdasarkan hasil penelitian MCW (Malang Corruption Watch) di kota Malang dan ICW (Indonesia Corruption Watch) di kota Jakarta terdapat beberapa hal yang menyebabkan gagalnya penerapan MBS dalam dunia pendidikan di sekolah, diantaranya adalah:

1.    Kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru untuk terlibat dalam pengembangan MBS disebabkan karena mereka sudah terbiasa dan terpola dengan model manajemen lama yang begitu sentralistis, walaupun mereka sudah mendapatkan petunjuk mengenai implementasi MBS secara teknis. Selain itu, guru juga kurang memahami bagaimana melakukan sinergi antara MBS dengan proses belajar mengajar di kelas.
2.    Penerapan MBS dipahami oleh kepala sekolah hanya sebatas membentuk Komite Sekolah sebagai pengganti BP3 dan dijadikan alat untuk melegitimasi mengambil keputusan untuk menaikkan SPP dan iuran lainnya seperti sumbangan pembangunan gapura, pagar, gedung sekolah, dan lain-lain. Demikian pula dengan perencanaan anggaran sekolah yang pembuatannya masih dimonopoli oleh kepala sekolah, pelibatan komite sekolah hanya sebatas ‘cap stempel’ belaka.
3.    Kultur masyarakat yang masih begitu feodalistik sehingga sulit untuk menjalankan aktifitas yang demokratis. Masyarakat yang telah terbunuh karakter dan kreatifitasnya selama puluhan tahun dibawah rezim yang otoriter, tentu akan mengalami kesulitan yang teramat sangat bila diberikan keleluasaan dalam bertindak sebab mereka telah terbiasa hidup dibawah panduan.
4.    Hegemoni pemerintah terhadap segala bentuk kehidupan masyarakat. Prinsip MBS pengelolaan pendidikan secara desentralisasi, namun kenyataannya jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pendidikan hingga bagian paling teknis sekalipun, justru semakin banyak, yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan konsep MBS, misalnya antara UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas No.19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan.
5.    Intervensi pihak asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan kepentingan. Penerbitan kebijakan pendidikan berbasis ketersediaan proyek lembaga donor asing sudah bukan temuan baru lagi. Fakta mengungkapkan puluhan proyek MBS yang digulirkan oleh lembaga donor asing ternyata dana totalnya mencapai puluhan trilyun rupiah. Implementasi MBS berbasis proyek menyebabkan penerapan MBS yang asal-asalan dan ala kadarnya, hanya sekedar untuk memenuhi target laporan.
6.    Pemerintah tidak memiliki filsafat pendidikan yang jelas dalam gerak langkah pembangunan pendidikan di Indonesia. Hal ini menyebabkan kesimpangsiuran aktifitas yang terjadi di dunia pendidikan karena tidak adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat (Tilaar, 2004).
(http://thantien.blog.friendster.com/2008/09/hubungan-antara-asesmen-kebutuhan-pengambilan-keputusan-dan-manajemen-berbasis-sekolah/)

    3.   Simpulan
Kebijakan adalah suatu keputusan yang diambil untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan, nilai, dan praktik yang di dalamnya terdapat unsur legalitas (kepemerintahan). Kebijakan pemerintah dalam administrasi (manajemen) pendidikan yang terbaru adalah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS merupakan suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat.
Landasan yuridis terhadap pelaksanaan MBS terdapat dalam perundangan-undangan, yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1 dan juga peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan hanya sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Penerapan MBS memberikan berbagai dampak dalam peningkatan mutu pendidikan. Diantara dampaknya seperti terciptanya lingkungan belajar yang efektif bagi siswa dan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Namun, juga banyak terdapat hambatan dalam menjalankannya seperti pihak-pihak struktural sekolah yang tidak ingin mendapat tambahan pekerjaan dan ketidakpahaman mereka terhadap aplikasi MBS itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said Zainal. Edisi Revisi, 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur siwah .

Fattah, Nanang. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Pustaka Bani Quraisy: Bandung.

Gunawan, Imam. 2010. MBS, Pendekatan dalam Manajemen Pendidikan Sekolah. [Online]. Tersedia: http://masimamgun.blogspot.com/. [7 Agustus 2010].

Irawan, Ade, dkk. 2004. Mendagangkan Sekolah: Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah Di DKI Jakarta. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.

Kusmanto. 2004. Menyoal Manajemen Berbasis Sekolah. Republika, Sabtu, 20 Maret 2004, halaman 6.


Sagala, Syaiful. 2010. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: PT Alvabeta.

http://thantien.blog.friendster.com/2008/09/hubungan-antara-asesmen-kebutuhan-pengambilan-keputusan-dan-manajemen-berbasis-sekolah/ [9 Agustus 2010]

 

http//:kebijakan-mbs/manajemen-berbasis-sekolah/mbs-kumpulan-makalah-bantuan-bahan-makalah-pendidikan.htm [9 Agustus 2010]

3 komentar: